RADAR24.ID | JAKARTA — KontraS menyoroti berbagai bentuk hukuman tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia yang dilakukan dengan dalih penegakan protokol kesehatan dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19 di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam pemantauan KontraS terkait penegakan protokol kesehatan sejak dimulainya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah di Indonesia sejak bulan April 2020, tercatat 10 peristiwa pemberian sanksi yang bersifat memberikan penderitaan dan/atau merendahkan martabat manusia. Dalam Keterangan tertulisnya pada jum’at (11/9) melalui Kordinator Badan Pekerja KontraS Fatia Maulidiyanti
“Kami menilai bahwa bentuk-bentuk sanksi pemberian penderitaan fisik seperti penganiayaan[1] atau pemukulan menggunakan rotan[2], serta pemberian rasa malu dan takut seperti turut memakamkan jenazah positif COVID-19[3], duduk di dekat keranda mayat dalam mobil jenazah[4], sampai masuk ke dalam peti mati[5] merupakan bentuk-bentuk penghukuman tidak manusiawi” ujar Fatia
“Kondisi ini tentu bertentangan dengan komitmen Negara mencegah terjadinya berbagai perlakuan tidak manusiawi sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Konvensi Anti Penyiksaan” jelas Fatia
Selain itu, hal tersebut juga lebih mengarah pada merendahkan martabat manusia daripada KontraS berharap Penegakan hukum yang berjalan dapat memberikan efek berkelanjutan dalam sosialisasi protokol kesehatan. efektivitas dalam sosialisasi protokol kesehatan harus didukung juga oleh kebijakan pemerintah mulai dari tingkat pusat hingga daerah.
Di sisi lain, wacana pelibatan “preman pasar” untuk turut mendisiplinkan protokol kesehatan pencegahan penyebaran COVID-19. sebagaimana disampaikan oleh Wakapolri Komisaris Jenderal Polisi Gatot Eddy Pramono hanya akan semakin memperburuk situasi.
“Menurut kami wacana ini justru menunjukkan kepada publik terkait gagalnya Polisi dalam melakukan tugas-tugas pengamanan dan penegakan hukum berdasarkan peraturan yang ada, sehingga harus melibatkan preman dalam melakukan tugasnya” tutur Fatia yang merupakan Kordinator Badan Pekerja KontraS 2020 -2023 ini
“kami khawatir kebijakan ini justru akan memicu munculnya konflik horizontal akibat adanya kelompok masyarakat tertentu yang merasa mendapat legitimasi dari kepolisian untuk melakukan fungsi-fungsi penegakan peraturan kepada masyarakat lainnya” ungkap fatia
Menurut KontraS keadaan ini dalam jangka panjang, akan memunculkan kelompok yang dapat main hakim sendiri (vigilante group) karena merasa mendapat perlindungan dari aparat negara.
Dalam Penilaian kontraS justru berbagai kebijakan seperti tes massal, contact tracing, dan jaminan kebutuhan dasar masyarakat yang terdampak akibat ekonomi COVID-19 dan bersifat lebih substansial dalam penanganan COVID-19 justru tidak diprioritaskan. Akibatnya, angka positif COVID-19 di Indonesia terus meningkat dan menghasilkan rekor-rekor angka positif baru setiap harinya.
“Kami Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar membatalkan wacana melibatkan preman dalam melakukan penegakan protokol COVID-19, dan lebih menggunakan pendekatan humanis yang berbasis pada kebijakan otoritas kesehatan guna menjadi bagian dalam menekan laju penyebaran Covid-19” tegas Fatia
“Kemudian mendesak semua Kepala daerah dengan tingkat penularan tinggi agar melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) meningkatkan kapasitas tes per hari sehingga memenuhi jumlah tes minimal sebagaimana ditetapkan oleh WHO” pungkasnya
RADAR24